MORUT – Rumah Sakit Pratama Mayapuria Baturube ternyata belum mengantongi izin operasional dan sertifikat laik fungsi. Fakta ini terungkap saat Komisi I DPRD Morowali Utara (Morut) menggelar rapat dengar pendapat (RDP) Kamis (30/1/2025).
RDP ini mengahdirkan Plt Direktur Rumah Sakit Pratama Mayapuria dr Oslanto Malau serta Kabid Yankes Dinas Kesehatan Morut dr Adriyanto dan Koordinator Perencanaan Dinas Kesehatan Morut, Rolex.
Menariknya, RDP ini hanya dihadiri Wakil Komisi I DPRD Morut Arman Purnama Marunduh. Rupanya anggota DPRD lainnya sedang bertugas luar kota.
Dalam RDP itu, Arman Marunduh menyorot persoalan pelayanan dasar kesehatan yang dikeluhkan masyarakat di Kecamatan Bungku Utara dan Baturube.
Masyarakat mengeluhkan rujukan dari rumah sakit ke puskesmas, sementara 1/3 penduduk Morowali Utara berada di wilayah tersebut.
Ia menyampaikan keluhan masyarakat Bungku Utara dan Mamsolato yang merasa pelayanan RS Pratama Mayapuria kurang memuaskan.
Salah satunya karena pasien diminta kembali ke puskesmas setelah pemeriksaan di rumah sakit tersebut.
Selain itu, rumah sakit juga diketahui hanya memiliki dua dokter umum dan satu dokter gigi serta lima perawat di rumah sakit dengan status pegawai tidak tetap dan honorer.
Arman Marunduh lantas menyangsikan predikat Akreditasi Paripurna yang telah diberikan ke RS Pratama Mayapuria sebab keluhan masyarakat menimbulkan keraguan mengenai pemenuhan standar pelayanan.
“Kalau terakreditasi dengan akreditasi paripurna, berarti standar pelayanan yang RS Pratama Mayapuria itu harusnya sudah terpenuhi semua,” tegasnya.
Oslanto Malau menjelaskan bahwa RS Pratama Mayapuria mulai beroperasi pada 14 November 2022, dengan anggaran untuk mempersiapkan sistem dan struktur.
Namun, pada 2023, tenaga medis yang tersedia tidak mencukupi, dan rumah sakit hanya mampu melayani rawat inap karena masih dalam proses perbaikan gedung.
Oslantao menyebutkan saat itu mereka masih kekurangan tenaga medis, dengan hanya tiga dokter. Hal ini menghambat pelayanan dan akreditasi.
“Dua tahun kami memelayani tidak pernah ada kami mengeluhkan masalah jasa medik,” bebernya.
Selanjutnya RS Pratama Mayapuria menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan dimulai akhir 2023, namun dicabut pada Juni 2024 karena rumah sakit belum terakreditasi.
Rumah sakit lantas mengejar akreditasi dengan menghadirkan Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS).
Menurut Oslanto, KARS merupakan lembaga penilai yang ketat. Meski kemudian mendapatkan Akreditasi Paripurna yang berlaku hingga 27 Oktober 2028, namun RS Pratama Mayapuria masih harus memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan SDM dan sarana-prasarana agar dapat memenuhi standar akreditasi.
“Saya memilih KARS untuk mengidentifikasi kekurangan kami,” katanya.
Oslanto tidak menampik adanya keluhan masyarakat setempat, karena memang katanya RS Pratama Mayapuria masih menghadapi kendala.
Dia bilang, saat ini, Rumah Sakit Pratama Mayapuria berstatus kelas D, setara Puskesmas plus.
Kekurangan SDM menyebabkan layanan rawat inap ditutup, dan rumah sakit tidak dapat menerima pegawai ASN atau P3K.
Selain itu terdapat masalah dalam pelayanan darurat (IGD) yang juga ditutup karena kekurangan tenaga medis.
“Penutupan layanan rawat inap bertujuan menghindari malapraktik dan menjaga kualitas pelayanan,” ugkapnya.
Oslanto juga mengungkap RS Pratama Mayapuria belum memiliki Susunan Organisasi dan Tata Kerja atau (SOTK) sebagai persyaratan untuk rumah sakit pertama menjadi OPD sendiri.
Syarat tersebut juga berdampak pada adanya larangan mendapatkan formasi ASN atau P3K walaupun penting sekali.
SOTK, lanjut Oslanto, tidak bisa diberikan karena RS Pratama Mayapuria belum memiliki sertifikasi kelayakan gedung yang harus dikurasi atau dinilai lagi kelayakannya.
“Kami masih berupaya untuk mendapatkan sertifikat laik fungsi itu,” tandasnya.
Sementara itu dr Adriyanto menyatakan bahwa kebutuhan dokter di Bungku Utara dan Mamosolato sangat mendesak.
Dinas Kesehatan Morut berencana untuk memprogramkan empat dokter spesialis dasar ke RS Pratama Mayapuria yang berjalan pada 2025 ini.
“Insya Allah kami pada tahun ini kami dari Dinas Kesehatan memprogramkan empat dokter spesial dasar untuk rumah sakit pratama,” kata Adriyanto.
Dinkes Morut juga berencana untuk mengundang dokter dari beberapa kabupaten untuk melayani masyarakat dua kecamatan tersebut.
Terkait sertifikat laik fungsi, Rolex menjelaskan bahwa izin operasional dari Dinas Perizinan (DPMTSP) Morut belum terbit karena sertifikat laik fungsi belum ada.
“Sertifikat ini seharusnya sudah ada sebelum pembangunan gedung rumah sakit,” ujar Rolex.
Untuk memperoleh sertifikat tersebut, Rolex menyebut bahwa tim ahli akan kembali turun untuk mengukur dan menilai kondisi gedung. Anggarannya sendir telah ditingkatkan untuk penerbitan sertifikat tersebut sebesar Rp70 juta.
Mendengar penjelasan para pihak tersebut, Arman Marunduh mengungkapkan keanehan bahwa bangunan sudah jadi tetapi sertifikat laik fungsi belum terbit.
“Ini kan aneh, rumha sakit sudah dioperasikan tapi ternyata gedungnya belum punya sertifikat laik fungsi. Bahaya juga kalau kondisinya begini,” ujarnya.
Dia menekankan pentingnya sertifikat tersebut untuk pelayanan kesehatan dan menanyakan apakah harus menunggu sertifikat untuk menghadirkan dokter spesialis.
Arman juga menyebut ada kekhawatiran mengenai penutupan layanan IGD dan rawat inap yang dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit.
“Dinas Kesehatan diharapkan segera mengambil langkah untuk membuka kembali layanan IGD dan manajamen rumah sakit juga wajib memenuhi syrat-syarat sesuai ketentuan. Karena Akredtasi Paripurna itu menjadi janggal kalau ternyata pelayanan tidak optimal,” tegasnya. (ham)