PALU– Sidang gugatan praperadilan terhadap termohon Polresta Palu terus berlanjut. Setelah pemohon gugatan dan termohon saling memberikan pandangan hukum masing-masing, kini giliran penyampaian dua saksi dan satu saksi ahli pemohon diajukan dalam sidang yang digelar, pada Senin (3/2) di Pengadilan Negeri (PN) Palu, yang dipimpin hakim tunggal Saiful Brow.
Diketahui bahwa pemohon mengajukan praperadilan dengan nomor 1/Pid.Pra/2025/PN Palu tertanggal 13 Januari 2025, klasifikasi perkara sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang diajukan oleh Edi Hasan.
Sidang praperadilan, kuasa hukum Pemohon menghadirkan saksi dari ATR/BPN Palu, Rexi Tandi dan Moh. Kasim.
Keduanya menyatakan telah melakukan pengembalian batas tanah ke sertifikat awal yang telah disepakati oleh kedua pihak dan pihak terkait lainnya.
Hasilnya, tidak terjadi tumpang tindih sertifikat, namun ada kelebihan penguasaan tanah. Hasil pengembalian batas tersebut juga telah diserahkan kepada penyidik Polresta Palu yang menangani perkara tersebut.
Kuasa hukum pemohon juga menghadirkan Prof. Muzakkir untuk memberikan keterangan sebagai ahli dalam kasus Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Pemohon, Edi Hasan, terhadap Termohon, Polresta Palu, terkait penghentian penyidikan perkara penyerobotan tanah milik Edi Hasan oleh bangunan milik Andreas dan Frangky yang terletak di Jalan Cut Nyak Dien, Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur.
” Nah ternyata dari saya berpendapat setelah saya pelajari semuanya ke perdata itu tidak ada karena sama masing-masing punya sertifikat hak milik dan sertifikat ukur, dan itu tidak tumpang tindih. Masing-masing memiliki hak atas lokasi yang telah ditetapkan. Artinya, ini bukan sengketa perdata,”ujarnya usai sidang diruangan Tirta selesai.
Guru Besar Hukum Pidana UII ini juga menjelaskan bahwa batas tanah telah jelas dan diakui oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam surat ukur.
Jika ada pihak yang melampaui batas tersebut dalam membangun, maka hal itu masuk ke dalam perkara pidana.
“Itulah yang dalam hukum pidana disebut sebagai penyerobotan tanah orang lain, karena batasnya jelas dan batas mana yang sudah diakui oleh BPN dalam surat ukur, itu kalau melampaui batas mulai membangun adalah namanya masuk perkara pidana.” Ujar Prof Muzakkir.
Oleh karena itu, Prof. Muzakkir berpendapat bahwa perbuatan tersebut memenuhi Pasal 167. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menghentikan penyidikan.
“Untuk soal gelar perkara itu hanya rekomendasi saja, intinya adalah ada dua alat bukti yang kuat maka harus tetap dilanjutkan ketahap berikutnya,” tutupnya.
Kuasa hukum pemohon, Gaspar M. Lamapaha, menyatakan bahwa permohonan praperadilan ini bertujuan untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan secara benar.
“Kami optimis bahwa apa yang kami dialihkan dapat kami buktikan di persidangan,” ujar Gaspar. (who)