Oleh : Rony Sandhi *) Penulis, Jurnalis Radar Sulteng
BELUM lama diramaikan dengan berita terkait angkat putus sekolah siswa tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Provinsi Sulawesi Tengah mencapai 4.509 siswa (Dapodik) Disdikbud Sulteng per awal Mei 2023), kita kembali dikejutkan dengan data ada 900 mahasiswa Universitas Tadulako (Untad) terancam Drop Out (DO).
Pihak kampus Untad memberikan batas waktu sampai 30 Juni 2023. Jika belum menyelesaikan studi akhir sampai batas waktu yang diberikan, otomatis di dalam sistem mereka akan DO.
Potret gagal pendidikan di Sulteng, mulai dari tingkat SMA sampai perguruan tinggi adalah sebuah “tamparan” keras yang harusnya menjadi perhatian untuk diseriusi pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan dan Kampus sebagai pihak yang ditugaskan Negara mengurus pendidikan.
Rektor Untad, Prof. Dr. Ir. Amar, ST., MT dalam keterangannya kepada wartawan di Palu, mengatakan, hingga memasuki Bulan Juni 2023, belum ada kebijakan dari pemerintah pusat untuk memberikan ketambahan durasi kepada mahasiswa yang terancam DO tersebut.
Prof Amar yang baru saja terpilih sebagai Rektor Untad, mengaku pihak Universitas Tadulako sudah melakukan berbagai upaya dan solusi agar para mahasiswa bisa diminimalisir dari ancaman DO. Kedepan Untad Palu akan mengambil kebijakan baru dengan memperketat sistem evaluasi pada semester dua dan semester empat, sehingga mahasiswa tidak terlalu larut.
Pada semester dua atau empat jika masih banyak mata kuliah yang belum tuntas, mahasiswa masih punya kesempatan untuk pindah ke tempat lain.
Pertanyaanya kemudian, bagaimana dengan mahasiswa yang nama-nama mereka masuk dalam daftar DO ? Apakah mereka tidak bisa menyelesaikan perkuliahan karena mereka memang “tidak becus” mengurus syarat kuliah yang memang mereka harus laksanakan.
Seperti banyak tudingan kepada mahasiswa yang “tidak becus” mengurus kuliahnya, karena sibuk urus organisasi, kebanyakan demo, dan lain-lain tudingan negative lainnya?
Ataukah karena pihak Kampus dalam hal ini civitas akademika yang “salah urus” mahasiswanya, kurang memberi solusi kongkret kepada mahasiswanya. Misalnya mencari permasalahan mendasar yang terjadi di tahapan perkuliahan, ketika ada dosen yang mempersulit mahasiswanya. Biasanya dilakukan para dosen-dosen yang dicap “killer” oleh mahasiswannya dianggap mempersulit mahasiswanya, sehingga mahasiswa menjadi kena mental dan sulit menyelesaikan perkuliahan. Apa yang pihak kampus sudah lakukan untuk permasalahan seperti ini ?
Misalnya ada oknum dosen yang diduga menggunakan kekuasaannya dengan meminta, hal pribadi, seperti materi untuk prasyarat tugas atau nilai mata kuliah. Seperti kejadian di salah fakultas di Untad, ada oknum dosen meminta kepada mahasiswanya untuk diisikan pulsa listrik, membeli sembako dan beberapa hal lainnya. Ini fakta dan sudah terjadi, kini oknum dosen tersebut sudah diberi sanksi tidak boleh mengajar selama satu semenster dari fakultas yang bersangkutan. Dan banyak lagi cerita-cerita mahasiswa terkait oknum dosen yang meminta aneh-aneh saat penyelesaikan tugas akhir, namun tidak terungkap karena mahasiswa takut melapor dan bisa-bisa juga menjadi alasan untuk mempersulit penyelesaian mata kuliah mereka.
Bagaimana dengan mahasiswa yang tiba-tiba pendapatan ekonomi keluarganya terdampak dampak bencana alam gempa bumi 28 September 2018, Dampak Covid-19, karena pendapatan orangtua mereka terdampak dan imbasnya mahasiswa terkendala dalam pembayaran UKT?
Apakah mereka-mereka ini juga termasuk dalam catatan mahasiswa yang menerima bantuan bea siswa untuk membantu mengurangi beban biaya kuliah, khususnya pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) ?
Bagaimana dengan pihak kampus, apakah kendala-kendala mahasiswa dari beberapa permasalahan yang terjadi juga menjadi bahan evaluasi perbaikan kedepan ?
Pihak Untad melalui Rektor Prof Amar menjelaskan, pihak kampus sudah melakukan upaya-upaya untuk menyelamatkan 900 mahasiwa yang terancam DO.
Diantaranya, memberikan beberapa kebijakan, yakni bagi mereka yang belum pernah mengambil cuti akan dicutikan sepanjang itu tidak menyalahi aturan, agar mereka masih memiliki ketambahan satu semester untuk melakukan perbaikan atau menyelesaikan kekurangan-kekurangan.
Apabila hal itu sudah tidak bisa ditempuh, maka dilakukan langkah berikutnya, yakni , memberikan solusi terakhir dengan memberikan surat pindah, namun belum tentu juga universitas lain mau menerima dalam kondisi seperti itu, karena semua universitas memiliki sistem yang sama.
Termasuk kondisi kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, di mana tahun-tahun sebelumnya masih ada kebijakan dari pemerintah pusat memberikan penambahan durasi enam bulan atau sampai Desember.
Namun pemerintah pusat, hingga memasuki bulan Juni 2023, belum ada kebijakan untuk memberikan ketambahan durasi kepada mahasiswa yang terancam DO tersebut.
Dari pihak mahasiswa yang tercatat dalam daftar terancam DO tentu juga harus mengintropeksi diri, kenapa bisa masuk dalam daftar DO. Apakah memang karena “Tidak Becus” mengurus perkuliahan selama ini dan harus menerimanya sebagai konsekwensi.
Pihak kampus juga perlu mengevaluasi kebijakan-kebijakan oknum dosen maupun staf administrasi yang diduga “mempersulit” mahasiswa dalam proses penyelesaikan perkuliahan, seperti pada kejadian-kejadian yang pernah ada. ***