(Natsir Said. SH)
PALU – Menanggapi pemberitaan media online Radar Sulteng edisi Kamis (9/11) dengan judul “Pengacara ART Sebut Ada Dugaan Konspirasi Untuk “Menghabisi” Karir Kliennya”, dimana dalam pemberitaan tersebut dengan sangat gamblang dan jelas menyebut nama Yenny Yus Rantung terlibat dalam perencanaan pembunuhan karakter terhadap senator ART serta tuduhan-tuduhan lain, maka dengan ini kami dari Kantor Hukum Natsir Said dan Partners sebagai Kuasa Hukum Yenny Yus Rantung dengan ini memberikan hak jawab sebagai berikut;
Bahwa yang dituduhkan Abdul Rahman Thaha (ART) melalui Kuasa Hukumnya terhadap klien kami sebagaimana terdapat pada alinea ke-8 (delapan) dalam pemberitaan a quo, yang dengan tegas menyebut “Para konspirator dan perempuan bernama Yenny Yus Rantung, kembali melakukan perencanaan pembunuhan karakter terhadap senator ART” adalah tuduhan fatal yang juga tidak dapat dibenarkan secara hukum.
Hal itu dikarenakan kata-kata tersebut secara eksplisit telah memvonis Yenny dalam tindak pidana yang mestinya perlu pembuktian lewat mekanisme hukum terlebih dahulu, ditambah lagi nama klien kami disebut secara jelas dan lengkap, sehingga menurut hemat kami perilaku tersebut justeru adalah bentuk ketidak patuhan warga Negara pada salah satu prinsip penting asaz praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang mesti dijunjung tinggi sebagai bentuk penghargaan atas nilai harkat dan martabat seseorang.
“Bahwa yang dituduhkan Abdul Rahman Thaha (ART) melalui Kuasa Hukumnya seperti termuat pada alinea ke-9 (sembilan) dalam pemberitaan a quo dengan bunyi “Perencanaan ini bertujuan untuk melemahkan posisi politik ART sebagai anggota DPD RI di mata masyarakat Sulawesi Tengah” juga tidak dapat dibenarkan, karena posisi klien kami dengan ART memiliki hubungan spesial yang dapat dibuktikan sejak tahun 2015. Sehingga, tidak mungkin klien kami akan berbuat hal-hal yang juga akan merugikan dirinya sendiri sebagai seorang anggota aktif Kepolisian Negara Republik Indonesia,” urai Natsir Said.
Bahwa terkait dengan tuduhan pada alinea ke-10 (sepuluh) pemberitaan a quo yang pada intinya menuduh klien kami melakukan pertemuan dengan beberapa konspirator lain untuk menyusun rencana seperti apa yang dituduhkan adalah asumsi yang over thinking dan berlebihan. “Bahwa klien kami memiliki hak untuk bertemu dengan siapa saja sehingga tidak semata-mata dapat diasumsikan secara berlebihan bahwa pertemuan tersebut untuk pemufakatan jahat.
Bahwa terkait dengan tuduhan pada alinea ke-11 (sebelas) pemberitaan a quo yang menerangkan bahwa klien kami telah menyebar isu hoax telah membuat Laporan Polisi atas dugaan pencurian mobil yang dilakukan ART, dengan ini kami terangkan bahwa Laporan Polisi itu benar telah dilakukan klien kami namun dicabut karena mobil berjenis CRV yang dimaksud telah dikembalikan sendiri oleh ART pada klien kami,” urainya.
Natsir menjelaskan, bahwa pada alinea-alinea seterusnya dalam pemberitaan a quo yang pada intinya menuduh klien kami sengaja disusupkan pada kubu ART untuk menghancurkan dari dalam adalah tuduhan yang sama sekali tidak dapat dibenarkan akal sehat. Sebab sejak tahun 2015, atau jauh-jauh hari sebelum ART jadi Anggota DPD RI, baik Yenny maupun ART sudah memiliki hubungan spesial sehingga kedekatan klien kami dengan ART tidak dapat diasumsikan sebagai upaya untuk menyerang kehormatan ART sebagai Anggota DPD RI.
“Bahwa kami menilai apa yang dilakukan ART melalui Kuasa Hukumnya tidak lebih dari hanya sebatas upaya playing victim atau biasa juga disebut dengan istilah victim mentality yang dalam studi Public Library of Science disebut bahwa terjadi ketika seseorang melemparkan kesalahan kepada orang lain, meski kesalahan tersebut adalah akibat dari perbuatannya sendiri dan tidak mau bertanggungjawab atas kesalahan tersebut. Pada posisi ini, pelakunya diidentifikasi akan selalu memosisikan diri seolah menjadi korban untuk mendapatkan simpati publik dan selanjutnya dikanalisasi pada kepentingan tertentu, termasuk kepentingan politik elektoral. Penilaian itu diperkuat dengan upaya publikasi oleh ART melalui Kuasa Hukumnya, bukan malah memilih penyelesaian lewat jalur hukum dengan membuat Laporan Polisi terkait tuduhan-tuduhan tindak pidana yang dilakukan klien kami.
Sebagai akhir dari Hak Jawab ini, kami selaku Kuasa Hukum Saudari Yenny Yus Rantung tetap berharap persoalan yang sifatnya sangat pribadi ini dapat diselesaikan secara damai tanpa harus diumbar di media massa. Sebab walau bagaimanapun, kita tetap memiliki tanggungjawab untuk memberikan pelajaran hukum dan politik di hadapan publik agar tidak mudah mengumbar sesuatu yang sebenarnya berasal dari konflik pribadi lewat media massa. Hak Jawab ini pun terpaksa muncul sebagai tanggungjawab kami selaku Kuasa Hukum untuk melindungi klien kami dari tuduhan-tuduhan yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya,” pungkasnya.. (*/ron)