MORUT – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Morowali Utara mendorong kepolisian mengusut mafia atau calo tanah pada lokasi tambang dan perkebunan sawit yang telah banyak merugikan masyarakat.
Hal itu dikemukakan Advokat LBH Morowali Utara Cabang LBH Sulawesi Tengah Agus Salim dalam aksi damai bersama belasan warga di Mapolres Morut, Senin (6/11) siang.
Perwakilan masa aksi ini diterima langsung oleh Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Morut AKP Arsyad Maaling di ruang kerjanya.
Aksi damai, kata Agus Salim, didasari banyak kasus agraria yang terjadi kawasan PT Gunbuster Nikel Industri (GNI) dan PT Agro Nusa Abadi (ANA).
“Kami sebagai pembela hak asasi masyarakat atas keadilan agraria dan sumber daya alam berupaya membela masyarakat atas hak tanah-tanah mereka,” ujarnya ditemui usai dialog.
Ia menyebutkan pada aksi kali ini LBH Morowali Utara fokus pada sengketa agraria yang terjadi di kawasan perkebunan PT ANA. Karena mereka juga membuat laporan pidana dengan membawa bukti-bukti kepemilikan lahan warga.
Latar kasus ini, lanjut Agus Salim, adalah pemberian tali asih oleh PT ANA kepada pemegang SKPT di 2014 silam. Sebab dikemudian hari lahan-lahan itu sudah dikuasai dan tumbuh sawit. Parahnya lagi ada SKPT baru menimpa surat-surat yang lama.
“Sebenarnya tuntuan pemilik lahan adalah kemana hak keperdataan mereka dengan kejadian duplikasi (SKPT) begini. Makanya kami melaporkannya,” jelasnya.
Kepemilikan lahan berdasarkan SKPT, kata Agus Salim, bukan sekedar lembaran kertas. Sebagian warga mendapatkannya dari proses pembelian. Masing-masing pemegannya juga membayar pajak. Bahkan sebelum ada sawit lahan itu juga diolah.
“Disini ada kepolisian, kita menuntut, ayo sidik oknum-oknum yang telah mempermainkan lahan-lahan warga, sebab mereka datang pada saat PT ANA masih hutan, mereka datang bukan merampas, mereka membeli dan mengolah lahannya,” tegasnya.
Setelah laporan pidana dimasukan, Agus Salim memastikan pihaknya juga segera mengajukan gugatan perdata kepada PT ANA. Gugatan ini terkait kerugian pemilik lahan serta legalitas anak perusahan Astra Group itu.
Menurut Agus Salim, PT ANA yang belum mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) bahkan mungkin belum memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) tidak boleh beroperasi. Ketentuan itu berdasarkan keputusan MK Nomor 138/PUU XIII/2015.
Jika terbukti tidak mengantongi kedua legalitas tersebut maka negara dirugikan soal pajak. Pun membayar pajak, Agus Salim mengaku bingung sistem apa yang bisa menerima pembayaran pajak sebuah perusahaan perkebunan tanpa HGU.
Selain itu ia juga menyangsikan keabsahan perusahaan yang tidak punya izin HGU membangun program kerjasama melalui plasma dengan masyarakat. Bahkan program plasma ini diawali dengan kesepakatan tali asih.
“Masalah HGU pernah digugat Walhi tetapi mendapat sanggahan bahwa hal itu tidak berlaku surut karena masih dalam proses pengajuan. Oke lah itu di kebun inti, nah bagaimana keikutsertaan lahan masyarakat dalam program plasma,” tadasnya.
Di tempat yang sama, I Made Susila yang datang membuat laporan polisi mengaku sangat dirugikan dengan pola plasma PT ANA.
“Saya sudah serahkan surat SKPT asli waktu validasi lahan. Tetapi akhirnya manfaatnya tidak benar-benar ada,” bebernya.
Senasib Made, warga Bunta yang datang bersama masa aksi, Nimade Sami, justru menanyakan proses hukum terhadap Kepala Desa Bunta atas dugaan penipuan. Modusnya adalah jual beli lahan perkebunan di Dusun Bungini. Kasus ini sudah dilaporkan sejak April 2022.
“Saya beli lahan ke Kades Bunta seharga Rp30 juta, tapi sampai sekarang lahannya tidak pernah ditunjukan, Saya datang kesini untuk menanyakan proses hukumnya,” beber Nimade.
Dikonfirmasi terkait transaksi lahan tersebut, Kades Bunta Cristol Lolo melalui pesan whatsapp, Selasa malam, mengaku lahannya ada. Namun saat ini terkendala peta dari PT Stardust Estate Investment (SEI).
Menurut Cristol, ia sudah menghadap ke PT SEI terkait pemetaan. Rencananya pemetaan akan dilakukan secara keseluruhan dengan melibatkan Pemdes Bunta dan PT SEI. Proses ini menunggu kesiapan dua perwakilan perusahaan yang sedang cuti.
“Itu lahan ada kendala peta dari PT SEI yang belum terbitkan, karena penerbitanya sekalian bagi warga yang sudah melepaskan lahannya. Jadi saya menunggu pemetaan keseluruhan baru kita turun lokasi sama-sama Pemdes dan PT SEI, mohon bersabar. Mks,” tulis Cristol.
AKP Arsyad Maaling ditemui usai menerima masa aksi menegaskan tidak ada intervensi dalam sebuah proses hukun. Karena itu ia mengimbau masyarakat untuk tidak mendesak para penyidik.
“Tidak boleh ada intervensi dalam menangani kasus. Karena itu masyarakat perlu mengerti sebab para penyidik juga bekerja keras dalam banyak perkara di daerah ini,” jelasnya.
Arsyad juga menegaskan kepolisian tidak akan tebang pilih dalam penanganan perkara hukum. Karena itu ia mengimbau
masyarakat Morut untuk tidak segan-segan malaporkan perkaranya ke kepolisian.
“Contoh kasus soal laporan Kades Bunta, kita proses. Hanya saja menurut penyidik si Kades selalu tidak dapat memberikan keterangan. Besok penyidik, pelapor dan LBH pendamping langsung turun lokasi untuk mengecek apakah lahan itu ada atau tidak,” tandasnya.
Sementara itu Serikat Petani Petasia Timur menyesalkan sikap pemerintah yang terkesan mengabaikan keberadaan petani Desa Bungintimbe.
Pimpinan Serikat Petani Petasia Timur, Ambo Endre mengatakan konflik agraria antara masyarakat pemilik lahan dengan PT ANA yang berkepanjangan, seakan tak pernah menemukan titik penyelesaian. Karena setiap keputusan yang diambil Pemkab Morut dan Pemdes Bungintimbe selalu sepihak.
Fakta terkini mengenai sikap abai pemerintah terhadap keberadaan para petani adalah verifikasi yang dilaksanakan oleh kepala Desa Bungintimbe.
“Pemerintah setempat tidak pernah mengajak kami para petani untuk berdiskusi selaku pihak yang berkonflik. Ditambah lagi verifikasi yang dilakukan oleh kepala Desa Bungintimbe bersama dengan timnya membuat kami semakin bingung,” kata Ambo Endre, Kamis (2/11).
Alasannya sangat sederhana kata Ambo, bagaimana mungkin baru dilakukan verifikasi surat-surat pemilikan maupun penguasaan tanah, sementara total luasan yang akan di-enclave sudah dikeluarkan atau ditentukan, bahkan telah diserahkan kepada Gubernur Sulawesi Tengah, seluas 659 hektare di Desa Bungintimbe.
“Sungguh tidak masuk akal, total luasan sudah terbit terlebih dahulu lalu proses verifikasi dilakukan setelahnya,” ujarnya.
Diketahui Kepala Desa Bungintimbe mengundang masyarakat pemilik lahan dengan surat perihal undangan dan permintaan dokumen tertanggal 25 Oktober 2023.
Makanya, masyarakat yang berkonflik dan tergabung dalam Serikat Petani Petasia Timur, secara tegas menolak segala proses yang dilakukan oleh Pemdes Bungintimbe dan Pemkab Morut yang tidak partisipatif dan tidak berkeadilan. Karena tidak melibatkan masyarakat sejak awal sebagai pemilik lahan yang berkonflik.
“Sejengkal pun tanah kami berkurang maka konflik agraria antara masyarakat pemilik lahan yang tergabung dalam Serikat Petani Petasia Timur dengan PT ANA secara tegas kami nyatakan belum selesai,” tegasnya.
Noval A. Saputra selaku aktivis agraria dan mantan Kordinator Wilayah KPA Sulteng menambahkan, pertemuan atau rapat pleno tertanggal 6 September 2023 yang dilaksanakan dan difasilitasi Gubernur Sulawesi Tengah melalui Tenaga Ahli Gubernur, dengan melibatkan seluruh komponen yang berkepentingan terkecuali petani tidak dilibatkan.
Rapat pleno tersebut kata Noval, menghasilkan kesepakatan hasil mediasi bahwa pada kutipan poin’ pertama disebutkan bahwa bersepakat untuk menyelesaikan permasalahan lahan yang mengacu pada hasil verifikasi dan validasi tahun 2016.
Poin kedua disebutkan bahwa Surat Pemerintah Kabupaten Morowali Utara Nomor : 593.7/125/PEM/VIII/2023 tertanggal 9 Agustus 2023 Perihal Permohonan Tim Verifikasi dan Validasi, di mana telah dilaksanakan verifikasi dan validasi lahan seluas 659 hektare untuk Desa Bungintimbe dan 282,74 hektare untuk Desa Bunta.
Poin ketiga disebutkan bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah memerintahkan untuk membentuk tim terpadu dan pada masing-masing desa tersebut dilakukan reverifikasi dan revalidasi.
Sehingga, sebagai bentuk reaksi, pada tanggal 8 September 2023, Serikat Petani Petasia Timur mendatangi Kantor Gubernur sebagai bentuk protes karena pada pertemuan di tanggal 6 September tidak satupun petani dilibatkan. Padahal, Serikat Petani Petasia Timur yang pertama kali mengadukan konflik tersebut kepada Gubernur Sulawesi Tengah.
“Kami diterima oleh Tenaga Ahli Gubernur Sulawesi Tengah, Ridha Saleh, dan kami menyampaikan bahwa tim terpadu yang termuat dalam hasil kesepakatan mediasi tidak layak untuk dilanjutkan jika tidak melibatkan petani secara total dan partisipatif,” ujarnya.
Seharusnya yang melakukan reverifikasi dan revalidasi lanjutnya, adalah semua pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan konflik agraria antara petani dengan PT. Agro Nusa Abadi. Sehingga, apa yang dilakukan Kepala Desa Bungintimbe bersama timnya terindikasi tidak obyektif.
“Seyogyanya kami mendesak negara melalui Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk mencari resolusi konflik agraria struktural yang berkepanjangan di Kabupaten Morowali Utara khususnya antara petani dengan PT. Agro Nusa Abadi, sehingga keterlibatan negara dapat mengarah pada keadilan agrarian,” jelasnya. (*/ham)