PALU – Laporan hasil pemeriksaan Dewan Pengawas Badan Layanan Umum Universitas Tadulako (Dewas BLU Untad), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Inspektorat Jenderal Kemendikbud Ristek menemukan penggunaan anggaran kegiatan fiktif dan tak masuk dalam Organisasi dan Tata Kelola (OTK) di Untad.
Kelompok Peduli Kampus (KPK) yang digawangi sejumlah dosen telah melaporkan hal itu sebagai dugaan tindak pidana korupsi kepada sejumlah aparat penegak hukum. Diantaranya Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan serta kepolisian. Dari informasi yang didapatkan media ini, sejumlah pihak yang diduga terlibat telah dipanggil oleh pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) pada Jumat (3/2) lalu.
Rektor Untad Prof Mahfudz dikonfirmasi Radar Sulteng enggan memberikan penjelasan. “Bah tidak usah,” katanya di depan pintu masuk ruang kerjanya, Selasa (7/2). Sebelumnya wartawan telah menyampaikan maksud konfirmasi melalui pesan AhatsApp, namun tidak memberikan jawaban.
Sementara Ketua KPK Untad, Prof Djayani Nurdin kepada Radar Sulteng menguraikan bagaimana awal mula kasus dugaan korupsi ini mencuat ke permukaan. Dewas BLU Untad yang awalnya menemukan penggunaan anggaran oleh lembaga yang dibentuk tidak sesuai OTK, perjalanan dinas ke luar negeri, pemberian remunerasi bagi dewan professor serta pembangunan sejumlah sarana dan prasarana yang tidak prioritas, nilainya mencapai Rp 56 miliar.
Setelahnya tim auditor Itjen Kemendikbud Ristek menemukan penggunaan dana untuk lembaga di luar OTK senilai Rp 12,5 miliar. Sementara BPK menemukan penggunaan anggaran fiktif dengan modus kegiatan Bimtek di Jakarta senilai Rp 1,7 miliar. Bimtek ini disebut berlangsung di kantor perusahaan iGroup (Asia Pacific) Ltd di Jakarta Barat pada April 2019. Kwitansinya disebut diterima oleh Sastriyati selaku pihak iGrup pada tahun 2021 lengkap dengan cap perusahaan.
Namun belakangan diketahui, dalam surat pernyataan yang ditandatangani Sastriyati tertanggal 14 Maret 2022, dirinya mengaku sudah tidak bekerja pada perusahaan iGrup sejak 1 Mei 2020. Lantas, siapa yang menerima dan menandatangani kwitansi tersebut?. “Kami menduga itu kwitansi palsu,” ujar Prof Djayani Nurdin.
KPK juga menyoroti penggunaan anggaran untuk operasional lembaga IPCC dengan laporan pertanggungjawaban fiktif senilai Rp 574 juta. “Ada data yang kita dapatkan dia (dosen) pertanggungjawabannya Rp 10 juta tapi hanya dapat Rp 4 juta dan ada surat pernyataan bahwa saya (dosen) hanya menerima Rp 4 juta,” katanya.
Adapun lembaga yang dibentuk tidak sesuai dengan OTK tersebut di antaranya IPCC, Depsa, Komisi Etik serta Dewan Profesor. Djamaludin Mariadjang salah seorang anggota KPK menjelaskan, bahwa tidak ada hak atribusi rektor untuk membentuk lembaga-lembaga ini. “Oleh karena itu yang dilakukan bertentangan dengan OTK,” jelasnya.
Sehingga semua aktivitas pembayaran yang bertalian dengan empat lembaga ini menjadi dasar temuan Dewas BLU Untad. Belakangan, beberapa oknum diminta mengembalikan uang negara. “Berarti ada dugaan penyalahgunaan kewenangan sehingga diminta untuk mengembalikan uang negara,” sebutnya.
Ketua Dewas BLU Untad, Irfa Ampri, saat ditemui juga menyampaikan sejumlah informasi penting terkait temuan mereka. Namun sayang, data-data yang ia sebutkan diminta untuk tidak ditulis.”Ini off the record yah,” sebutnya.
Sementara itu, Mantan Rektor Untad, Prof Muhammad Basir Cyio, saat dikonfirmasi mengatakan bahwa temuan BPK itu semua sudah dikembalikan. Ihwal kwitansi fiktif dirinya hanya mempersilahkan wartawan untuk menulisnya. “Tulis saja dinda apa yg menurut komiu bisa ditulis,” jelasnya.
Dalam kesempatan lain, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Sulteng, Muhammad Ronald, saat ditanyakan mengenai proses hukum yang tengah dilakukan dalam kasus ini juga belum memberikan keterangan. “Sementara saya cek di Intel atau Pidsus surat tersebut, kemarin sibuk peresmian,” pungkasnya. (ril)