PALU – Masyarakat Kelurahan Poboya yang mengatasnamakan Sanak Pribumi Poboya, Senin (13/2), mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) kota Palu. Kedatangan mereka dengan tujuan untuk mempertanyakan tentang status tanah adat yang di kuasai oleh Made Dewa Parsana (Mantan Kapolda Sulteng) dan Muhammad Rusman, berdasarkan adanya Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dikeluarkan oleh BPN Palu harus dibatalkan atau dikembalikan.
Hal ini disampaikan oleh salah satu koordinator aksi, Moh Rival Tajwid dalam orasinya. Dia mengatakan, bahwa kedatangan pendemo yakni menuntut pihak BPN Palu, yang telah menerbitkan beberapa SHM serta diklaim oleh beberapa pihak seperti Dewa Parsana bersama rekannya Muhammad Rusman di atas tanah leluhur adat Poboya.
“Masyarakat Poboya telah melakukan somasi terhadap Dewa Made Parsana bersama rekannya tertanggal 7 Februari 2023, yakni ada tiga SHM yang diterbitkan BPN Palu yakni SHM no.00266 tanggal 18 Februari 2013, SHM no.00935 tanggal 30 Desember 2019, dan SHM no.00946 tanggal 30 Desember 2019 serta somasi terhadap dua SHM milik Muhammad.Rusman yakni SHM no.00256 dan SHM 00255 tanggal 21 September 2012 yang ditujukan kepada PT.Citra Palu Mineral (CPM),” katanya.
Sehingga masyarakat menolak adanya sertifikat ilegal di atas tanah adat poboya. Atas dasar itu, warga Poboya mendesak pihak BPN Kota Palu melakukan peninjauan kembali alas hak penerbitan sertifikat tersebut, yang ditinjau dari keberadaan warga selaku pemilik hak tanah ulayat Poboya.
Selanjutnya, sesuai dengan bukti peta pembagian leluhur yang telah dibagikan kepada masyarakat adat Poboya tahun 2006/2007, dan masyarakat tidak pernah melakukan jual beli kepada kedua orang tersebut. Karena sampai saat ini oleh Lembaga adat Poboya masih dikuasai secara turun temurun.
“Maka atas dasar keturunan pribumi memegang teguh prinsip leluhur yang kami jaga selama ini, sehingga kami menolak atau tidak menerima diterbitkannya SHM kepada dua pihak yang dimaksud. Kami juga menligitimasi kepada BPN Palu yang sudah menerbitkan sertifikat di atas tanah adat leluhur kami,” tegas Rival.
Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran ATR/BPN Kota Palu Syariatudin, menyampaikan bahwa BPN Kota Palu akan melakukan pemeriksaan kembali Sertifikat berdasarkan nomor tersebut, apabila telah terbit namun ketika ada alat bukti yang lebih kuat maka bisa digugat.
“Kami dari BPN tidak bisa memeriksa bukti materil, namun ranah Penyidik Polri atau Pengadilan. Saya juga tidak bisa menjelaskan lebih rinci karena saya belum memegang data yang benar, sehingga kita akan kroscek apa benar telah terbit sertifikat itu,” terangnya.
Kalau misalnya telah terbit, tentunya tidak menutup kemungkinan sertifikat itu tidak bisa digugat. Sebab, kalau masyarakat memiliki alat bukti yang lebih kuat, buktian awal yang bisa mengugurkan sebuah sertifikat. “Itu juga diatur oleh peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997, kalau pun itu dikeluarkan oleh BPN, tentunya ada alat bukti yang ditunjukan. Persoalannya adalah apakah bukti itu salah atau benar, itu ranah pengadilan yang menilai,” tambahnya.
Dia menambahkan, apabila pihak kelurahan sudah mengeluarkan surat penyerahan dan surat peryataan penguasaan fisik. BPN itu dibatasi oleh undang-undang yang tidak bisa memeriksa kebenaraan materil, itu ada di ranah penyidik Polri dan Kejaksaan. “Sehingga kalau ada yang bermohon dengan membawa data yang benar, tentunya bisa kami keluarkan sertifikat, akan tetapi kalau dikemudian hari bermasalah, maka tentunya melanggar tiga peryataan yang sudah disepakati, seperti bahwa tanah tersebut tidak bermasalah, dikuasai secara fisik, dan jika terbukti ada data yang tidak benar maka pemohon bertangungjawab secara pidana dan perdata,” jelasnya.(who)