PALU-Dalam sebuah pertemuan Dr. H. Hasanuddin Atjo, Ketua SCI Sulawesi dan Dewan Pakar Ispikani, mengatakan, salah satu lembaga audit ekonomi berkelas dunia, yakni Price Waterhouse Cooper (2017) telah memprediksi Indonesia pada tahun 2045 akan nenjadii salah satu negara dengan kekuatan ekonomi di peringkat ke 5 dunia, setelah China, AS, India dan Brasil. Bila mampu mengelola sumberdayanya secara baik dan berkelanjutan.
Dia mempertajam dengan statemen Sri Mulyani (2021) tentang prediksi itu, bahwa PDB Indonesia pada saat itu sekitar US$ 7 triliun, meningkat hampir 700 persen dari tahun 2020 sebesar US$ 1,1 triliun. PDB perkapita meningkat menjadi US$ 24.000 dari sebelumnya US$ mendekati 4.000. Ini tentu menjadi harapan yang harus diseriusi.
Ada empat sektor diprediksi akan menjadi penopang ekonomi pada saat itu, yakni, (1) Hilirisasi SDA, (2) Ekonomi digital, (3) Penyediaan pangan, serta 4) Ekonomi kreatif dan pariwisata. Namun mencapai semua ini, memerlukan persyaratan ketat dan upaya ekstraordinary.
Persyaratan itu antara lain, adalah (1) Dukungan Infrastruktur Dasar, (2) Perbaikan Birokrasi Pemerintah, (3) Kesesuaian Tataruang Wilayah, (4) Sumberdaya Keuangan (APBN dan APBD sehat), (5) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan (6) Pengembangan Inovasi dan Teknologi.
Menurutnya, sumberdaya maritim menjadi salah satu penopang akan pencapaian PDB itu. Data BPS (2015) potensi sumberdaya maritim kita sebesar US$ 1,33 triliun, dan angka ini melebihi PDB tahun 2020 yaitu sebesar US$ 1,1 triliun. Potensi ini diharapkan bisa menjadi motivasi yang kuat bagi stakeholdes negeri ini untuk memanfaatkannya.
Ada 11 sektor yang menjadi potensi sumberdaya maritim sebesar US$ 1,33 triliun tersebut yaitu (1) sektor tambang dan energi berkontribusi 16 persen, (2) Perikanan budidaya juga 16 persen, senilai US$ 210 miliar, (3) jasa maritim 15 persen, (4) sumberdaya non konvensional 15 persen, (5) bioteknologi laut sebesar 14 persen.
Selanjutnya, (6) pendayagunaan pulau kecil sebesar 9 persen, (7) pengolahan perikanan 7 persen, (8) pariwisata 4 persen, (9) sektor transportasi laut 2 persen, (10) kawasan mangrove 1 persen, dan (11) perikanan tangkap sebesar 1 persen.
Penduduk dunia pada tahun 2045 diperkirakan mencapai 9,45 miliar jiwa, dan Indonesia mendekati 320 juta jiwa atau meningkat 2 kali lipat dari tahun 2021 (Bappenas 2021). Saat itu, Indonesia memperoleh bonus demografi yang bermakna bahwa penduduk berusia produktif lebih besar dari tidak produktif.
Kondisi ini ditunjukkan oleh angka ketergantungan (Depency Ratio) senilai 53,4 persen, artinya setiap 100 penduduk produktif dibebani sebanyak 53 orang berusia tidak produktif ( 0 -14 tahun dan lebih besar dari 65 tahun). Ini tentu harus menjadi perhatian.
Bonus demografi harus diwaspadai karena besarnya jumlah penduduk berusia produktif harus diiringi oleh kecukupan gizi, open mindset dan transformasi inovasi dan teknologi, agar menjadi sumberdaya manusia yang produktif dan berdaya saing.
“ Jika tidak dipersiapkan dipastikan bonus demografi hilang percuma, dan peluang itu tidak akan kembali. Boleh jadi pasar kerja dalam negeri akan diisi oleh SDM dari negara lain yang saat ini mulai dirasakan pada sejumlah sektor usaha, “ jelasnya.
Analisis, pemetaan BPS (2015) itu relevan dengan pandangan FAO (2021) bahwa pada tahun 2017 pertama kali perikanan budidaya berkontribusi sebesar 50 persen dari penyediaan pangan dunia sebesar 180 juta ton. Ini seimbang dengan produksi perikanan tangkap yang selama ini telah menjadi kontributor utama.
Indonesia pada tahun yang sama, berdasarkan data KKP tahun 2019 menunjukkan produksi ikan, tidak termasuk rumput laut mendekati 12 juta ton dan kontribusi budidaya mendekati angka 5 juta ton yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2027, output perikanan budidaya dunia diprediksi tembus angka 100 juta ton, meninggalkan perikanan tangkap yang stagnan pada angka sekitar 90 juta ton. Prediksi produksi perikanan budidaya Indonesia pada akhir tahun 2024 mendekati angka 10 juta ton (KKP, 2021).
Dilihat dari nilai ekspor perikanan, Indonesia yang kononnya sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar, pada tahun 2021 hanya berada pada peringkat 11 dunia dengan nilai ekspor sebesar US$ 5,7 miliar atau berkontribusi 1,32 persen terhadap nilai ekspor dunia.
Kinerja ekspor ini, dipandang oleh sejumlah kalangan relatif tertinggal bila dikaitkan dengan sumberdaya yang dimiliki. Memiliki luas laut dan jumlah pulau terbesar, garis pantai terpanjang ke dua, sebagai negara yang beriklim tropis dan beberapa bagian wilayahnya adalah lintasan khatulistiwa.
Dari kinerja ekspor, China berada di depan dengan nilai ekspor sebesar US$ 22,1 miliar (12,4 persen). Norwegia berada di urutan kedua senilai US$ 13,9 miliar (7,8 persen). Norwegia fokus mengembangkan budidaya Salmon yang berorientasi klusterisasi dan industrialisasi dan kini tercatat sebagai produsen ikan Salmon terbesar dunia.
Vietnam di urutan ketiga dengan nilai US$ 8,3 miliar (berkontribusi sebesar 4,6 persen). Negeri Naga Biru ini dengan garis pantai 3.200 km, namun diberi sumberdaya air tawar yang besar melalui sungai Mekong, kini sebagai penghasil ikan Patin (Dori) terbesar dunia melalui industri budidayanya.
India berada di peringkat empat dengan nilai ekspor US$ 7,6 miliar (4,3 persen), dan mulai fokus di industri budidaya udang. Pada 2021 produksi udang budididayanya mendekati angka 800 ribu ton, dan telah meninggalkan Indonesia yang hanya memproduksi 500 ribu ton (FAO, 2021).
Yang menarik bahwa negara kecil Ekuador dengan garis pantai 2.700 km, jauh di bawah Indonesia yang hampir 100.000 km memiliki devisa US$ 7,1 miliar atau berkontribusi sebesar 4.0 persen, menduduki peringkat 6 dunia setelah Kanada.
Devisa hasil perikanan Ekuador ini dominan berasal dari ekspor udang hasil budidaya. Pada tahun 2021 didominasi jenis vaname produksi udang mendekati 2,1 juta ton dan menjadikan negara yang dilintasi garis khatulistiwa, equator sebagai penghasil udang terbesar dunia.
Dilihat dari struktur komoditi ekspor hasil perikanan Indonesia, udang menduduki peringkat pertama dan berkontribusi sebesar US$ 2,223 miliar (39,0 persen), lainnya US$ 1,179 (20,6 persen), Tuna-Tongkol-Cakalang TTC US$ 0,733 miliar (12,8 persen), Cumi-Sotong-Gurita US$ 0,618 miliar (10,8 persen)
Selanjutnya Rajungan dan Kepiting berkontribusi sebesar US$ 0,611 atau (10,7 persen). Terakhir rumput laut sebesar US$ 0,345 (6,0 persen). Rumput laut menjadi komoditas strategis untuk upaya pemberdayaan masyarakat pesisir, namun produksinya masih sekitar 1,2 juta ton kering, minim hilirisasi.
Berdasarkan penelusuran terhadap kesuksesan sejumlah negara yang berkinerja baik dalam ekspor hasil perikanan tidak semata ditentukan oleh besarnya sumberdaya yang dimiliki. Namun, lebih ditentukan kinerja pengelolaan (alam, manusia dan kapital) menggunakan cara baru yang efisien berkelanjutan.
Fokus terhadap komoditi tertentu, diikuti pendekatan klusterisasi dan industrialisasi menjadi poin penting bagi keberhasilan negara dengan sumberdaya alam yang terbatas tersebut. Cara seperti itu membuat inovasi dan teknologi berkembang pesat. Demikian pula halnya proses transformasi berlangsung secara baik.
Klusterisasi menyebabkan logistik cost menjadi lebih murah dan lebih cepat, karena komponen dari input produksi mulai induk, benih, pakan dan lainnya berada didalam satu kluster dan terkoneksi secara baik.
Selanjutnya klusterisasi menjamin suply bahan baku secara kontinyu untuk kebutuhan hilirisasi.
Sebagai kegara kepulauan, maka sepatutnya Indonesia menerapkan pendekatan klusterisasi dan fokus saja kepada komoditi tertentu pada masing masing potensi budidaya (Marikultur, Payau dan Air Tawar). Dengan pendekatan semacam ini, mendorong efisiensi, produktifitas yang bermuara kepada daya saing.
Terakhir, bahwa membuat/redesain roadmap pengembangan komoditi harus implementatif. Dukungan regulasi dan infrastruktur menarik seperti adanya insentif, kawasan ekonomi khusus (KEK) yang berbasis pangan akan mendorong sektor swasta berinvestasi.(mch)