WHO telah mengidentifikasi beberapa penyakit menular yang termasuk dalam penyakit menular terabaikan/ neglected, yaitu Chagas diseases, African trypanosomiasis, onchocersiasis, dracunculiasis, cysticercosis, echinococcosis, fascioliasis, schistosomiasis, soil-transmitted helmintiasis, filariasis, yaws, leptospirosis, scabies, dan penyakit zoonosis lainnya.
Schistosomiasis di Indonesia merupakan penyakit yang disebabkan cacing trematoda darah Schistosoma japonicum. Penyakit ini termasuk neglected disease karena merupakan penyakit zoonosis yang hanya ditemukan terbatas atau endemik di Sulawesi Tengah (Dataran Tinggi Lindu Kabupaten Sigi, Dataran Tinggi Napu dan Bada Kabupaten Poso). Sampai saat ini schistosomiasis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di daerah endemis sejak pertama kali ditemukan di Lindu, Sulawesi Tengah pada tahun 1937.
Penyebab schistosomiasis japonica adalah cacing trematoda Schistosoma japonicum. Telur S.japonicum dikeluarkan bersama dengan tinja penderita, kemudian dalam air menetas menjadi mirasidium yang akan menembus tubuh keong Oncomelania hupensis lindoensis. Dalam tubuh keong mirasidium akan mengalami perkembangan menjadi sporokista, kemudian menjadi serkaria yang akan keluar dari tubuh keong. Infeksi terjadi melalui serkaria yang menembus kulit manusia dan atau mamalia. S.japonicum dewasa hidup di vena hepatika dan vena mesenterika. Schistosomiasis juga merupakan penyakit zoonotik karena juga memiliki inang reservoir berbagai hewan mamalia selain manusia, misalnya kerbau, kuda, sapi, anjing, babi, rusa, bahkan berbagai jenis tikus.
Gejala awal schistosomiasis sering tidak disadari oleh masyarakat di daerah endemis, karena menyerupai gejala penyakit infeksi lain. Saat serkaria masuk melalui pori-pori kulit, gejala yang muncul adalah timbulnya ruam merah dan gatal di kulit tempat masuknya serkaria. Gejala awal ini muncul beberapa jam setelah infeksi, namun akan hilang dalam waktu 2-3 hari. Gejala selanjutnya adalah munculnya batuk disertai dahak kadang bercampur darah. Selanjutnya akan muncul gejala demam tinggi, lemah, mual muntah, sakit kepala, sakit perut. Apabila tidak diobati, gejala tersebut akan menjadi lebih berat, yaitu mulai terjadi pembengkakan limpa dan hati. Pada kondisi kasus yang lambat ditangani, lebih dari 8 bulan setelah infeksi, mulai muncul gejala yang lebih berat yaitu anemia, sakit perut, disentri, terjadi pembengkakan limpa, hati dan pembengkakan perut. Pada awal ditemukan penyakit ini, banyak ditemukan laki – laki dengan perut buncit seperti ibu hamil.
Pengendalian
Schistosomiasis juga dikenal dengan penyakit demam keong hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dalam kurun waktu 2018-2022 berbagai upaya penanggulangan schistosomiasis telah dilaksanakan untuk menurunkan serendah-rendahnya angka prevalensi schistosomiasis pada manusia, hewan serta keong perantara dengan melibatkan lintas program dan lintas sektor. Peran lintas sektor sangat dibutuhkan untuk eliminasi penyakit ini. Hal tersebut disebabkan schistosomiasis ini penyakit zoonosis yang terkait lingkungan.
Pengendalian schistosomiasis dikoordinasi oleh Bappenas, karena memang tidak dapat diatasi oleh sektor kesehatan sendiri. Kementerian yang terlibat meliputi Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koordinator PMK, Kementerian Desa, Kementerian Kesehatan, Kementerian PU&PR, KLHK, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dalam siklus hidupnya dia membutuhkan keong perantara yang memiliki habitat khusus, sehingga pengendaliannya membutuhkan peran dari berbagai kementerian yang terkait dengan lingkungan dan pembangunan, misalnya KLHK, Kementerian PU&PR dan sektor lain. Penyakit demam keong juga memiliki dapat menginfeksi hewan mamalia lain, sehingga dapat menjadi sumber penularan di lingkungan, sehingga pengendaliannya perlu melibatkan Kementerian Pertanian dalam hal ini kesehatan veteriner.
Pada awal ditemukan, prevalensi schistosomiasis sangat tinggi, hingga lebih 50% dari seluruh penduduk di daerah endemis. Dengan berbagai pengendalian yang dilakukan prevalensi demam keong sudah menurun, namun masih ditemukan kasus di daerah endemis. Data tahun 2021 menunjukkan prevalensi sebesar 0,3%. Meskipun sudah di bawah 1%, namun ternyata penyakit ini masih ditemukan di daerah endemis, meskipun berbagai upaya pengendalian juga sudah dilakukan.tentunya hal tersebut menunjukkan masih adanya masalah dalam pengendalian schistosomiasis sehingga belum berhasil dieliminasi.
Beberapa tantangan maupun permasalahan dalam pengendalian schistosomiasis dapat dikemukakan sebagai berikut:
- Banyak masyarakat beraktivitas atau bekerja di sekitar daerah habitat keong perantara schistosomiasis. Masyarakat memang sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani atau bekerja di kebun, yang mana kebun atau sawah mereka merupakan habitat keong perantara schistosomiasis. Misalnya di kebun cokelat, di saluran irigasi sawah. Sebenarnya hal tersebut tidak menjadi masalah apabila penduduk menggunakan alat pelindung diri ketika ke sawah atau ke kebun, yaitu dengan menggunakan sepatu boot, untuk mencegah masuknya serkaria ke pori – pori kulit. Akan tetapi hal tersebut belum dilakukan oleh seluruh penduduk yang ke sawah atau ke kebun, dengan berbagai alasan, misalnya kondisi sawah yang berlumpur menyebabkan kesulitan jika menggunakan sepatu boot karena justru tertanam, terkadang juga airnya lebih tinggi dari sepatu boot yang digunakan. Alasan lain yang sebenarnya klasik adalah penduduk tidak punya sepatu boot, alasannya menunggu pembagian pemerintah, memang sangat disayangkan masih adanya alasan tersebut. Kembali lagi ke pentingnya kesadaran masyarakat.
- Apabila ada masyarakat yang beraktivitas di kebun yang menjadi habitat darah fokus yang menderita schistosomiasis, akan menjadi sumber penularan di lingkungan. Hal tersebut dapat terjadi misalnya warga tersebut ingin buang air besar, namun rumahnya jauh dari kebun, sehingga menyulitkan jika harus pulang untuk BAB, sehingga terjadilah perilaku BAB tidak di jamban. Tinja orang terserbut mengandung telur cacing japonicum yang akan menetas di air di daerah kebun, kemudian tahap selanjutnya akan masuk ke keong perantara untuk berkembang menjadi serkaria, yang akan menginfeksi manusia lain atau mamalia lain, sehingga siklus penularan terus terjadi. Hal tersebut sebenarnya sudah diantisipasi pemerintahh dengan pembangunan fasilitas MCK di dekat lokasi habitat keong, namun pada kenyataannya juga masih kurang optimal, misalnya lokasi tidak tepat di daerah habitat keong, atau tidak dilengkapi dengan sumber air. Masalah tersebut sebenarnya dapat diatasi apabila dalam pembangunannya berkoordinasi dengan pihak desa setempat yang lebih memahami lokasi. Meskipun sebenarnya titik koordinat lokasi habitat keong sudah tersedia dengan jelas, hasil pemetaan yang dilakukan oleh Balai Litbang Kesehatan Donggala bersama dengan Dinas Kesehatan.
- Masih banyak hewan mamalia yang berkeliaran di sekitar habitat keong perantara schistosomiasis. Hal tersebut menjadi tantangan yang tidak mudah untuk dikendalikan. Untuk mamalia seperti babi, kerbau, sapi, kuda, tentu bisa diupayakan dengan pembuatan kandang, supaya tidak terinfeksi schistosomiasis. Namun bagaimana dengan hewan liar? Misalnya tikus? Siapa yang bertanggungjawab dan bagaimana pengendaliannya? Banyaknya hewan mamalia liar yang menjadi inang schistosomiasis juga masih menjadi persoalan yang belum dapat dituntaskan, meskipun sudah melibatkan lintas sektor.
- Dari segi partisipasi masyarakat dalam pengumpulan tinja, saat iini sebagian masyarakat sudah merasa jenuh, bosan karena sejak tahun 1980-an sudah selalu diminta mengumpulkan tinja. Meskipun ada juga warga yang tetap selalu mengumpulkan tinja karena mereka takut terkena demam keong, namun tidak semua warga demikian. Bahkan ada juga yang iseng, pot tinja yang dikumpulkan ke petugas laboratorium malah diisi batu kerikil atau biji juga dedaunan. Hal itu cukup menyedihkan, mengingat para petugas berjuang untuk kesehatan masyarakat, justru ada warga yang bersikap demikian. Mungkin, kejenuhan tersebut perlu diatasi dengan upaya promosi kesehatan yang harus dilakukan dengan lebih gencar dan intensif lagi. Warga akan sadar jika dia merasa itu kebutuhan mereka, mereka tidak ingin terkena penyakit demam keong, maka dia akan mau mengumpulkan tinja untuk diperiksa. Sehingga upaya promosi kesehatan dalam rangka memunculkan kembali kesadaran warga perlu dilakukan dengan lebih intensif, konsisten dan secara terus menerus tanpa mengenal kata bosan. Untuk dapat melakukan hal tersebut tentu juga butuh dukugan pemerintah dalam hal pembiayaan bagi para petugas untuk melakukan edukasi.
- Saat ini kapasitas petugas laboratorium pemeriksa di lapangan membutuhkan perhatian besar. Banyak petugas yang sudah pensiun, dan regenerasi tidak berjalan sesuai dengan harapan. Menjadi petugas pemeriksa schistosomiasis sangat membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan hati. Karena tidak semua orang mau berurusan memegang tinja orang untuk diperiksa. Petugas harus menyingkirkan rasa jijik, bau yang sangat tidak enak yang sudah dihadapi sehari – hari. Hal tersebut memerlukan panggilan hati demi kepentingan kesehatan masyarakat. Sampai saat ini pemeriksaan sediaan tinja masih dibantu oleh petugas dari Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Donggala. Sangat dibutuhkan dukungan pemerintah pusat dalam upaya regenerasi petugas laboratorium, apakah misalnya dengan pelatihan yang lebih intensif, peningkatan insentif yang diterima petugas, maupun pengangkatan pegawai tetap dari analis kesehatan yang ditugaskan di laboratorium schistosomiasis di daerah endemis.
- Tantangan selanjutnya adalah peran llintas sektor dalam pengendalian schistosomiasis belum optimal. Sebenarnya sudah tersedia roadmap pengendalian schistosomiasis, yang secara rinci menjelaskan tanggung jawab setiap kementerian/Lembaga. Namun hasil penelitian oleh Balai Litbangkes Donggala tahun 2018 menunjukkan capaian roadmap oleh lintas sektor 53,6% yang terlaksana
Berbagai tantangan tersebut perlu diatasi dengan berbagai upaya percepatan eliiminasi schistosomiasis. Mengingat masih belum optimalnya peran lintas sektor dalam pengendalian schistosomiasis, maka perlu dipetakan kembali peran lintas sektor dalam integrasi intervensi eliminasi schistosomiasis. Perlu peningkatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat untuk pengendalian schistosomiasis, saat ini ada Gadar Basis, GEMA BERAKSI, dan perlu dilakukan replikasi Bada Model di daerah endemis schistosomiasis lain. Perlu peningkatan pemanfaatan sumber pembiayaan dari APBN, APBD dan APB Desa untuk mendukung program penanggulangan schistosomiasis. Perlu dilakukan juga peningkatan kapasitas petugas laboratorium, dengan magang atau pelatihan di Balai Litbang Kesehatan Donggala. Diperlukan juga peran penelitian dalam hal pengambilan kebijakan, prosedur surveilans, monitoring pengendalian schistosomiasis pada hewan, serta pemetaan faktor risiko pada hewan mamalia lain. Satu upaya yang penting juga adalah penguatan peran pemerintah daerah provinsi dan kabupaten dalam perencanaan dan pembiayaan pengendalian schistosomiasis, dapat berupa penyusunan master plan atau peraturan bupati.
Mengingat target eliminasi WHO untuk schistosomiasis di Indonesia yang semakin dekat (tahun 2030), maka berbagai upaya untuk mengatasi tantangan pengendalian schistosomiasis penting untuk segera dilakukan.
Biodata Penulis:
Anis Nur Widayati lahir di Surakarta, pada 21 November 1983. Saat ini sedang menempuh pendidikan S3 di Fakultas Biologi UGM. Pendidikan S1 di Fakultas Biologi UGM, S2 di Ilmu Kedokteran Tropis, FKKMK, UGM. Bekerja sebagai peneliti di Kementerian Kesehatan sejak tahun 2016 – 2022. Sejak tahun 2022 hingga sekarang, sebagai peneliti di Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi, Organisasi Riset Kesehatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Buku dan bunga rampai yang telah diterbitkan yaitu: Entomologi Kedokteran dan Kesehatan/Siphanoptera Sebagai Vektor Penyakit; Pengembangan Model Bada Menuju Eliminasi Schistosomiasis; Fokus Keong Perantara Schistosomiasis Serta Rencana Aksi Pengendalian dalam Rangka Eliminasi Schistosomiasis 2020; Buku Penyakit Bersumber Lingkungan; dan Buku Genetika dan Biologi Reproduksi. |