Oleh : Nurfianti
“KAPAN huntap (hunian tetap) kami akan dibangun?” Demikian pertanyaan yang selalu dilontarkan warga kepada kami, tim fasilitator dari Oversight Provider—Central Sulawesi Rehabilitation and Reconstruction Project (OSP—CSRRP) Kementerian PUPR, di tahap-tahap awal ketika kami melakukan proses pendampingan di Kelurahan Panau, Kecamatan Tawaeli, Kota Palu. Sebagai tim fasilitator, tugas kami memang melakukan pendampingan terhadap warga terdampak bencana (WTB) yang harus direlokasi dan berhak atas huntap: mulai dari memverifikasi dan memvalidasi data WTB, memastikan mereka menempati huntap, sampai dengan mendampingi mereka pada saat pascahuninya.
Kami mulai melakukan pendampingan terhadap WTB di Kelurahan Panau pada pertengahan 2020, khususnya, terhadap WTB yang memilih untuk mendapatkan huntap mandiri. Di Kelurahan Panau, pada saat itu ada 28 kepala keluarga (KK) yang tercatat sebagai WTB yang memilih huntap mandiri dan harus kami dampingi.
Huntap mandiri adalah satu dari tiga skema huntap relokasi yang ditawarkan pemerintah kepada WTB yang harus relokasi. Dua skema huntap lainnya yang ditawarkan adalah huntap kawasan dan huntap satelit. Untuk skema huntap mandiri, pemerintah akan membangun huntap di atas lahan yang dimiliki dan disediakan sendiri oleh WTB yang bersangkutan. Huntap mandiri ini terutama ditawarkan untuk mengakomodir WTB yang harus relokasi namun tidak mau pindah ke lokasi huntap kawasan yang lokasinya dipandang relatif jauh dari tempat asal. Skema huntap mandiri ini pun diajukan sebagai salah satu solusi untuk menyiasati kendala keterbatasan lahan huntap yang harus disediakan pemerintah.
Memulai pendampingan
Kelurahan Panau adalah bagian dari Kecamatan Tawaeli yang terletak di pesisir sebelah utara Kota Palu. Hampir seluruh warga Panau berasal dari suku Kaili. Ketika terjadi bencana gempa bumi yang disusul dengan tsunami dan liquekasi pada 28 September 2018, Kelurahan Panau adalah salah satu wilayah yang diterjang tsunami dan mengalami kerusakan cukup parah. Pascabencana, sebagian wilayah pesisir Kelurahan Panau kemudian ditetapkan oleh pemerintah sebagai “zona merah” yang tidak diperkenankan untuk kembali ditinggali. Hal ini pula yang kemudian mengakibatkan sebagian WTB-nya harus direlokasi ke wilayah yang dipandang aman.
Ada cukup banyak WTB dari Kelurahan Panau yang harus direlokasi. Sebagian ada yang memilih untuk pindah ke huntap kawasan, baik ke lokasi huntap kawasan Tondo II dan Talise Valangguni yang disediakan oleh pemerintah lewat Kementerian PUPR maupun ke lokasi huntap Tondo I yang disediakan oleh Buddha Tzu Chi. Khusus untuk WTB yang memilih huntap mandiri, berdasarkan surat keputusan (SK) yang telah dikeluarkan oleh Wali Kota Palu, semuanya berjumlah 28 KK.
Tugas pendampingan kami dimulai dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pihak Kelurahan Panau. Kepada pihak kelurahan, kami menginformasikan terkait dengan kerja-kerja pendampingan yang akan kami lakukan, termasuk menjelaskan kembali tentang skema huntap mandiri yang dilaksanakan di Kelurahan Panau beserta siapa saja WTB yang terdaftar di dalam SK untuk mendapatkan huntap itu yang masih harus diverifikasi dan divalidasi.
Proses verifikasi dan validasi data WTB kemudian kami lakukan dengan cara mengunjungi dan bertemu langsung dengan WTB. Hal ini dilakukan untuk memastikan, WTB yang terdaftar di dalam SK memang benar berhak atas huntap: bahwa WTB yang bersangkutan sebelum bencana adalah warga Kelurahan Panau yang dibuktikan dengan kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP), bukan KK baru dan KK gendong, bisa menunjukkan rumah asal yang terdampak bencana di “zona merah” yang dibuktikan dengan penanda koordinat di mana rumah asal itu berada, dan belum mendapatkan bantuan serupa dari pihak atau program lain. Khusus untuk huntap mandiri, WTB yang bersangkutan disyaratkan pula harus menyiapkan lahan di lahan milik sendiri yang dibuktikan dengan adanya legalitas lahan.
Proses verifikasi dan validasi ini, terutama yang menyangkut persyaratan legalitas lahan, ternyata bukanlah perkara yang mudah dan cukup memakan waktu. Bagi sebagian WTB, hal ini dipandang rumit, berbelit, bahkan ada kesan mereka dipersulit. Mereka pun mempertanyakan tentang proses pembangunan huntap mandiri karena sebelumnya mereka pernah mendapatkan informasi bahwa pembiayaan untuk huntap mandiri akan diberikan dan dikelola secara langsung oleh WTB yang bersangkutan. Para WTB pun merasa, ada ketidakpastian dan ketidakjelasan dalam proses untuk mendapatkan huntap itu. Untuk WTB yang telah melengkapi seluruh persyaratan, misalnya, huntapnya ternyata tidak juga kunjung dibangun. Ditambah lagi ketika beredar isu, bagi mereka yang mendapatkan huntap, lahan rumah di tempat asal akan diambil alih oleh pemerintah.
Di lapangan, ketika kami bertemu dengan para WTB, mereka kerap berujar, “Terserah rumah kami mau dibangun atau tidak! Pemerintah mau peduli kami atau tidak!” Banyak WTB yang pada akhirnya mengundurkan diri dari huntap mandiri meskipun data mereka telah masuk dalam dokumen Rencana Pengadaan Lahan (Land Aqusition Plan atau LAP), dokumen yang terlebih dahulu harus disiapkan CSRRP untuk disetujui Bank Dunia selaku pihak yang memberi pinjaman untuk proyek penyediaan huntap pascabencana di Sulawesi Tengah ini.
Proses pendampingan kami pun semakin kerap mengalami berbagai kendala. WTB tampak mulai bosan dan jenuh, bahkan menjadi apatis dan tidak lagi peduli. Dua tahun mereka telah menunggu huntap, namun belum juga terwujud. WTB pun semakin menjauh, sebagian bahkan sudah tidak bersedia lagi untuk kami temui. Penolakan demi penolakan dan perlakuan tidak mengenakkan dari WTB makin terbiasa pula kami terima. Pada titik itu, kami merasa, telah muncul ketidakpercayaan WTB terhadap fasilitator.
Pantang mundur, mengubah pendekatan
Sebagai tim fasilitator, kami diberi mandat dan amanat untuk memastikan agar seluruh WTB yang berhak mendapatkan huntap bisa mendapatkan haknya. Mandat dan amanat itu yang kami pegang. Oleh karena itu, meskipun WTB sudah mulai menjauh dan kepercayaannya meluntur kepada kami, kami tetap berusaha untuk semaksimal mungkin melakukan pendampingan. Kami pun berusaha mengerti dan memaklumi sikap, psikologi, dan emosi yang ditunjukkan para WTB. Bagaimanapun, beberapa dari kami yang menjadi tim fasilitator, ada juga yang merupakan WTB seperti mereka. Saya sendiri adalah salah satu di antaranya.
Di tengah berbagai kendala yang kami hadapi, kami terus mencari cara agar bisa mendampingi dan membantu WTB untuk tetap menyiapkan segala persyaratan huntap yang dibutuhkan. Untungnya, pihak Kelurahan Panau masih menaruh kepercayaan kepada kami dan tetap mendukung dengan kerja-kerja yang kami lakukan. Berkat dukungan kelurahan pula, sebagian WTB bersedia untuk melengkapi berbagai dokumen yang dibutuhkan, termasuk menyiapkan dokumen legalitas lahan. Untuk mengurus kelengkapan legalitas lahan—terutama yang dokumennya hilang karena tsunami —pihak kelurahan membantu penggantian dokumen itu tanpa memungut biaya sepeserpun. Pihak kelurahan pun bahkan membantu proses pengurusan dokumen itu sampai tingkat kecamatan.
Meskipun WTB mulai menjauhi kami, kami tetap berusaha menemui mereka. Kami pun berusaha untuk mendekati secara personal siapa saja yang dipandang sebagai “tokoh-tokoh kunci” yang ada di tengah warga. Awalnya, tidak mudah melakukan pendekatan terhadap mereka karena sejumlah tokoh kunci yang kami dekati adalah mereka yang telah menolak huntap. Dengan berbagai cara, kami terus berusaha memberikan informasi, penjelasan, dan pengertian terkait dengan seluruh rangkaian proses yang harus dilalui sebelum huntap bisa dibangun: mulai dari tervalidasinya data WTB, penyusunan LAP oleh pemerintah yang dibantu tim OSP—CSRRP, sampai dengan adanya no objection letter (NOL) dari Bank Dunia sebagai tanda persetujuan untuk dimulainya pembangunan huntap.
Berbagai informasi dan penjelasan yang kami berikan sedikit demi sedikit mulai membuka ruang komunikasi dengan para tokoh kunci tersebut. Pertemuan-pertemuan kecil pun mulai sering kami lakukan. Kami pun meminta kepada para tokoh kunci itu untuk menjadi ketua-ketua kelompok masyarakat (pokmas), dengan harapan, mereka bisa menjadi narahubung untuk menyebarluaskan informasi terkait dengan progres penyediaan huntap kepada anggota pokmas dan WTB yang lain.
Dengan pertemuan-pertemuan kecil yang sering kami lakukan, para WTB pada akhirnya semakin mengenal kami. Sedikit demi sedikit, mereka pun mulai memahami proses yang harus dilakukan. Keakraban antara kami dengan WTB makin terjalin. Mereka menyambut hangat kami ketika kami berkunjung atau sekadar mampir di kediaman mereka yang sebagian besar masih tinggal di hunian-hunian sementara (huntara). Tidak jarang kami dijamu, makan bersama, dan seterusnya bercakap-cakap. Percakapan kami pun tidak hanya soal huntap, tapi juga bercakap tentang banyak hal. Intinya, bacarita, notutura.
Bacarita atau notutura memang menjadi salah satu budaya masyarakat Kaili. Ada berbagai hal yang bisa dibincangkan di saat notutura: mulai dari kehidupan sehari-hari, adat dan kebiasaan, bahkan sampai hubungan kekerabatan. Notutura ini pula yang seterusnya kami lakukan di dalam setiap kesempatan. Dengan notutura, secara tidak langsung kami membangun nilai-nilai kekeluargaan. Kami merasa lebih dekat, akrab, dan mengenal antara satu dengan yang lain. Hasilnya, hubungan kami dengan warga Keluragan Panau, khususnya dengan para WTB, berangsur semakin membaik.
Untuk semakin menumbuhkan kepercayaan warga, khusunya dari para WTB, kami berusaha untuk menjadi bagian dari mereka. Dalam proses pendampingan yang dilakukan, kami turut melibatkan diri dengan berbagai aktivitas yang dilakukan warga, yang tidak ada kaitan langsung dengan proses pembangunan huntap mandiri sebagaimana mandat kerja kami. Ketika mendapatkan informasi dan fakta bahwa akses jalan menuju ke masjid rusak, misalnya, kami berusaha membantu sebisa yang kami mampu. Kami turut memberikan donasi untuk memperbaiki akses jalan yang rusak itu. Partisipasi dan donasi pun kami berikan kepada pengurus remaja islam masjid untuk perayaan menyambut bulan suci Ramadhan.
Berbagai cara dan pendekatan yang kami lakukan itu ternyata cukup ampuh untuk menumbuhkan kembali kepercayaan dari para WTB. Dengan kesungguhan kerja yang kami lakukan, WTB pada akhirnya tidak melihat kami sekadar sekumpulan orang yang hanya peduli dengan huntap. Lebih dari itu, kami sudah dianggap sebagai bagian dari mereka.
Proses pembangunan huntap, masalah yang kembali mengemuka Huntap mandiri yang telah dinantikan selama lebih dari dua tahun oleh WTB di Panau akhirnya akan terbangun. Kepastian itu kami dapatkan setelah terbitnya NOL dari Bank Dunia. Akan tetapi, hanya delapan kepala keluarga yang pada saat itu disetujui untuk dibangunkan huntapnya. Untuk WTB lainnya, kelengkapan dokumennya dipandang masih belum memenuhi persyaratan. Mereka diminta untuk kembali memperbaiki dan melengkapinya.
Sebagaimana yang kami duga, WTB yang datanya masih perlu diperbaiki dan dilengkapi tentu saja merasa kecewa. Kami sempat mendengar isu, mereka akan melakukan aksi dan demonstrasi ke Kantor Satuan Kerja Balai Perumahan Kementerian PUPR sebagai penanggung jawab dari proyek pembangunan huntap tersebut.
Untuk mengantisipasi kekecewaan dan gejolak yang muncul di tengah WTB, kami pun berinisiatif untuk melakukan pertemuan dengan ketua-ketua pokmas, tokoh-tokoh masyarakat di Panau, Lurah Panau, dan sekaligus berkoordinasi dengan Camat Tawaeli. Kami meminta pertimbangan mereka terkait dengan langkah-langkah yang harus diambil untuk kembali melakukan pendekatan dan sekaligus membujuk WTB agar bersedia memperbaiki dan melengkapi dokumen-dokumennya. Kami cukup bisa bernafas lega ketika upaya ini sedikit-banyak bisa meredam kekecewaan dan gejolak WTB. Mereka masih bersedia memperbaiki dan melengkapi dokumen-dokumennya.
Seraya terus mendampingi WTB melengkapi kembali dokumen-dokumennya, kami pun membantu PT Waskita, yang menjadi kontraktor pelaksana pembangunan huntap mandiri di Kelurahan Panau, untuk melakukan berbagai persiapan: mengecek kembali lokasi huntap, mengidentifikasi akses-akses serta sarana dan prasarana menuju huntap, dan lain sebagainya. Pada saat itu, kami sendiri tidak diberi informasi terkait dengan jadwal pelaksanaan pembangunan huntap. Dalam pikiran kami, kontraktor pelaksana pasti akan menghubungi kami kembali untuk menginformasikannya kemudian.
Seminggu berselang, tim kontraktor pelaksana ternyata telah menghubungi secara langsung para WTB tanpa memberitahu dan mengonfirmasi kami terlebih dahulu. Mereka pun telah mencari dan mempekerjakan tukang untuk mengerjakan fondasi huntap. Dengan pikiran positif, kami menduga hal itu dilakukan agar pengerjaan huntap bisa dilakukan secara cepat.
Proses pembangunan huntap yang sudah membayang di depan mata ternyata tidak semulus sebagaimana yang kami duga. Masalah kembali muncul setelah pengerjaan fondasi delapan unit huntap itu selesai dilakukan. Entah mengapa, PT Waskita selaku kontraktor pelaksana tidak langsung melanjutkan proses pembangunan huntapnya: pekerjaan huntap mereka praktis terhenti hanya sampai fondasi!
Tentu saja hal ini membuahkan gejolak baru. Para WTB kemudian mencerca kami dengan berbagai pertanyaan tentang kepastian dan kelanjutan pembangunan huntap, sekaligus menumpahruahkan segala kekecewaan dan kemarahan mereka. Ketua-ketua pokmas pun kali itu sudah tidak sanggup membendung emosi dari para WTB yang merasa terus dipermainkan.
Kepercayaan WTB kepada kami pun kembali dipertaruhkan. Cukup lama kami berusaha untuk menenangkan mereka, dan kembali memberikan berbagai penjelasan terkait dengan proses dan prosedur pembangunan huntap. Sambil menunggu pembangunan huntap dilanjutkan, kami terus berusaha melakukan rembuk bersama para WTB. Seiring dengan proses penyiapan untuk skema huntap lainnya yang dilakukan oleh pemerintah Kota Palu dan Kementerian PUPR, di dalam rembuk-rembuk warga itu pun kami mulai melibatkan para WTB yang memilih untuk direlokasi ke lokasi huntap satelit dan huntap kawasan.
PT Waskita baru kembali melanjutkan proses pembangunan huntap mandiri di Panau yang sempat terhenti sampai fondasi selang tiga bulan kemudian. Kali itu, kami memastikan agar pembangunan huntap dikerjakan sampai tahap akhir, termasuk dengan kelengkapan infrasutruktur dasar yang berupa aliran listrik dan saluran air bersihnya.
Huntap dihuni, lebih dari sekadar seremoni Pascahuntap selesai dibangun dan infrastruktur dasarnya berfungsi dengan baik, WTB pun sudah bisa langsung menempati huntapnya. Di huntap mandiri Panau ini tidak ada seremoni serah terima kunci sebagaimana yang biasa terjadi di penyerahan huntap-huntap lainnya.
Bagi delapan kepala keluarga yang kini sudah mendapatkan huntap, makna seremoni boleh jadi tidak terlalu berarti dibandingkan dengan rasa syukur dan bahagia di saat mereka mendapatkan hunian layak yang telah mereka tunggu selama lebih dari dua tahun pascabencana. Terlebih, selama ini mereka hanya tinggal di huntara-huntara yang kondisinya sudah semakin sumpek, bahkan sebagian di antaranya sudah tidak lagi layak huni.
Kami, tim fasilitator yang selama ini mendampingi mereka, bisa turut pula merasakannya. Mereka mengundang kami ketika pindah rumah dan mengadakan syukuran sederhana. Kami berbaur bersama meluapkan rasa syukur dan bahagia, saling bacarita, notutura. Berada di situasi demikian, segala proses berliku yang kami lalui rasanya terbayar sudah. Meskipun begitu, di depan, proses selanjutnya masih menunggu: pendampingan pascahuni akan menjadi kerja kami setelah ini. Boleh jadi, berbagai tantangan dan kendala masih pula akan kami hadapi. * * *
*)Penulis, Senior Fasilitator (sf) Huntap CSRRP.