BANGKEP-Talenta sebagai aktivis lingkungan kembali terkuak, dengan munculnya satu lagi pahlawan lingkungan dari Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep), Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Frengki Balugi layaknya ikon baru sebagai pengabdi sekaligus penyelamat lingkungan hutan alam dan keanekaragaman hayati berkelas dunia di pedalaman Bangkep.
Kepada media ini, Frengki menceritakan sepak terjangnya merawat lingkungan hayati yang ada di Desa Lalengan, Kecamatan Buko. Awalnya berkebun di Luwuk Kabupaten Banggai (daratan Sulawesi bagian timur), banyak monyet, lalu dia membeli senjata angin guna mengusir monyet. Hingga dia gunakan senjata itu untuk berburu.
Setelah berimigrasi ke Bangkep, masyarakat Desa Lalengan Kecamatan Buko ini mengawali perubahan dirinya melalui pertemanan, dan pembelajaran bersama.
Pada awalnya Frengki bertemu Erton Pongale, anggota masyarakat adat Sea-sea, yang mengajaknya ke lokasinya di desa sebelah, yaitu Olusi. Frengki sempat bertanya kepada Erton, untuk bergabung dengan lembaga adat itu apa syaratnya. Oleh Erton, disebutkan harus punya lahan yang akan dijadikan kawasan konservasi masyarakat atau dikenal dengan istilah Taman Kehati.
Dijelaskan Erton, bahwa di Taman Kehati itu kita harus menanam pohon yang bermanfaat bahkan menarik perhatian. Kebetulan sekali, lokasi milik Frengki ada air terjunnya. Selanjutnya mereka berdua turun lapangan.
“ Ini lokasimu bisa menjadi Taman Kehati, “ ucap Erton kepada Frengki.
Mereka berdua kemudian menginfomasikan rencana tersebut kepada Un Madus, rekan aktivis konservasi dari dusun Kololomboi. Taman Kehati Lalengan dapat menjadi penguat Taman Kehati Kokolomboi yang didirikan masyarakat adat bekerjasama dengan Mochamad Indrawan, peneliti Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia (RCCC-UI).
Setelah rencana tersebut matang, mereka bertiga Erton, Frengki dan Un menanam pohon. Beberapa bulan kemudian, bibit pohon dikirim ke Kokolomboi. Selanjutnya Frengki dkk berinisiatif melibatkan siswa dan siswi kelas IV, V, dan VI SD ke Taman Kehati untuk menanam pohon.
Sukses mendirikan Taman Kehati, pada Juli 2021 oleh Indrawan dirinya ditawarkan ikut bergabung di kegiatan penelitian satwa bersama Un Madus. Kepada masyarakat, Frengki berupaya menyosialisasikan bahwa berbagai satwa kini dilindungi oleh masyarakat adat.
“ Masyarakat tidak diperkenankan lagi untuk berburu, “ ucapnya.
Sebagai pengabdi dan aktivis lingkungan, aksi Frengki tidak selalu mulus. Banyak tantangan yang harus dia hadapi untuk meyakinkan warga masyarakat di desanya, terutama tantangan itu datang justeru dari oknum Pemerintah Desa setempat.
Frengki Balugi berjuang mengamankan lingkungan alam sekitarnya, meski istrinya sering sakit-sakitan tidak menghambat rutinitasnya mengimbau masyarakat dari hutan yang satu masuk hutan yang lain. Dia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk melestrikan lingkungan. Kadangkala meninggalkan keluarganya untuk bekerja dalam hutan membantu melakukan riset untuk kepentingan masyarakat Bangkep, dan kepentingan semuanya.
Sejak itulah tantangan dan halangan mulai dihadapi Frengki dan kawan-kawan seperjuangannya. Kata-kata pedas, menyepelekan dan cemoohan mengakrabinya. Selalu terlontar dari pihak-pihak yang belum memahami tugas yang diembannya saat itu.
“ Kami di lapangan selalu ditegur. Dengan kata-kata apa tugasnya Frengki ini? Cuma tukang sensor (gergaji), tukang kebun, tapi mau larang-larang kami. Bukan sarjana tapi berlagak seperti seorang PNS. Jangan percaya, itu adalah penipuan, “ cerita Frengki mencontohkan perlakuan dan kata-kata tidak senonoh dari masyarakat kepada dirinya.
Setelah itu satu lagi tokoh masyarakat Desa Lalengan mengatakan “pekerjaannya Frengki tidak jelas.” Begitu juga lontaran kata-kata dari para pemburu yang menyatakan “apa hak dan tugasnya melarang orang berburu? Emangnya ini semua hewan peliharaannya?”
Tetapi Frengki tetap sabar dan tabah bertahan dengan sikapnya, dan tidak goyah. “ Saya hadapi mereka dengan senyum, “ tuturnya.
Setelah itu datang kegiatan mahasiswa Universitas Tompotika ke Taman Kehati dengan maksud hendak menjadikan wisata desa. Dirinya bertahan tidak bisa lagi dirobah-robah, kecuali ada perjanjian dengan sang pembina dari UI.
“ Saya pertahankan bahwa itu hak saya. Apalagi Taman Kehati saya itu sudah dikelola oleh pembina kami dari Universitas Indonesia. Kecuali ada persetujuan baru bisa. Makanya tanpa persetujuan pembina kami itu saya tidak bisa memutuskan sendiri, “ tegas Frengki.
Polemik ini diintervensi oknum aparat desa Lalengan, dengan menuding Frengki tidak mendukung program Pemerintah Desa (Pemdes). Menghambat pula program mahasiswa membangun desa. Ditambah lagi Frengki telah mempersulit mahasiswa.
“ Dia menuduh saya menolak mahasiswa yang katanya datang ke Desa Lalengan hanya akan merusak satwa dan lingkungannya, “ sebutnya. Semua tuduhan itu tidak berdasar.
Menghadapi ancaman verbal seperti itu, Frengki tidak patah arang, Malah semangatnya untuk menjaga dan merawat Taman Kehati semakin menggebu.
“ Saya itu, semakin dituduh macam-macam saya hadapi. Saya semakin bersemangat, “ cetusnya.
Menurut dia, apa yang dilakukannya dengan berbagai imbauan demi keberlangsungan dan melindungi satwa endemik yang terancam punah. Bukan untuk kepentingan pribadi.
“ Imbauan-imbauan dan perlawanan frontal yang saya lakukan untuk melindungi kelestarian satwa dan keasrian hutan hayati ini bukan untuk saya. Tetapi ini semua saya lakukan demi keberlangsungan dan masa depan masyarakat Bangkep, “ tandasnya.
Saat dia turun ke Taman Kehati di Kampung Baru Desa Olusi, ada kepala Dusun nya seorang ibu. Frengki memberi salam hormat tetapi langsung dihardik. “ Saya sapa (tegur) beliau. Selamat pagi ibu.” Lalu ibu Kadus menjawab, “ohhh hati-hati itu illegal. Itu menandakan bahwa tugas kami ini illegal di matanya. Dia kemudian mengatakan lagi, kamu akan ditangkap aparat hukum”. “Tapi, saya tetap tersenyum kepadanya, “ bebernya.
Kemudian di Desa Seano, di Buko Selatan, tetangga Desa Lalengan, ketika melapor ke Kepala Desa (Kades) Seano untuk melindungi hutan dia mengalami hambatan. Pemerintah desa menghujaninya dengan sejumlah pertanyaan yang menusuk.
“ Bapak ini dari mana? Mana kartu pengenal kamu? Terus, surat jalannya mana? Makanya saya tidak diizinkann masuk ke wilayah Desa Seano, “ ujar Frengki.
Mendapat masalah akses masuk. Kemudian dia menelpon Janri Ivan Jan Djaya, sesama aktivis konservasi, yang berada di Palu, Sulawesi Tengah, bahwa dirinya menemui kendala di lapangan. Selanjutnya Janri berkomunikasi dengan Pemdes Seano. Akhirnya, mereka mempersilakan Frengki memasuki wilayah Seano, seraya meminta maaf.
“ Mohon maaf, saya ini Kepala Desa baru. Saya tidak tau, “ ucap sang Kades, mengklarifikasi.
Dalam peninjauannya, Frengki menemukan telah terjadi pembabatan hutan yang massif oleh warga Seano. Pembabatan liar terjadi di beberapa wilayah hutan Desa Seano dan sekitarnya. Hutan dibabat untuk membuat kandang sapi secara berpindah-pindah hingga merambah hutan primer.
“ Kepada pemerintah desa saya sampaikan kalau bisa dikurangilah pembabatan hutan. Setiap tahun masyarakat di sini membuat kandang sapi secara berpindah-pindah. Pembabatan itu terjadi di Dusun Kat, dan Dusun Sasake. Mereka telah merusak lingkungan di atas. Bahkan hutan primernya ikut dibabat, “ ungkapnya.
Karena itu, Frengki berinisiasi mendorong pemerintah di daerahnya dari Dinas Kehutanan untuk melakukan pengawasan. Sebab, di Desa Lalengan telah menjadi pusat perburuan satwa. Para pemburunya selain dari warga Desa Lalengan sendiri, juga berasal dari berbagai desa, yaitu dari Desa Sindere, Batangono wilayah Eben, Desa Talastalas wilayah Dusun Kat, Desa Peleng Lalomo, dan Desa Olusi.
“ Yang mereka buru itu adalah burungnya dan bungisnya (kuskus). Padahal, bungisnya hampir punah, “ ucapnya.
Dia menilai, kesadaran masyarakat tentang arti penting kehidupan ekosistem dari satwa dan lingkungan hidupnya masih sangat rendah. Oleh karena itu, dukungan dari pemerintah setempat sangat diperlukan. Mendorong pemerintah secepatnya bersama masyarakat melakukan perlindungan satwa.
Diinformasikan Frengki, para pemburu itu melakukan aksinya di malam hari. Menggunakan senter berkekuatan 50 Watt hingga 80 Watt, dan mengeksekusinya dengann senjata angin. “ Dulu itu bungisnya banyak, sekarang sudah hampir punah,” serunya.
Di air tawar, warga dari Desa Peleng Lalomo datang menyetrum udang yang ada di sungai. Sambil memanah ikan di laut untuk bahan makanan rumah tangganya, Frengki kadang menjalankan tugas risetnya, melihat begitu banyak lobster di Desa Laaengan tinggal berukuran sedang. Lobster berukuran besar sudah diambil masyarakat. Lobster di sini ada yang hijau, ada pula berwarna belang merah dan putih. Mirisnya lagi, masyarakat mengambil ikan dengan cara menebar racun.
Berbagai imbauan telah dilakukan Frengki, tetapi mereka menganggap Frengki tidak ada apa-apanya, hanya masyarakat biasa seperti mereka. Mereka pun tidak peduli.
“ Disini kami belum memiliki kekuatan hukum (tidak punya payung hukum) yang tegas untuk menegur mereka, “ ujarnya.
Menurut Frengki, yang diperlukan sekarang ini adalah legalitas, dan mendesak pemerintah membuat aturan yang berdampak efek jera. Ketika ada peraturan di daerah akan terealisasi semuanya. Tidak ada lagi perburuan satwa. Hidup merdeka di alam bebas, aman dan tidak ada lagi yang memburunya.
Kemudian, disiapkan tanda pengenal atau surat tugas, agar ketika berkoordinasi dengan berbagai pihak semisal Pemdes dan masyarakat yang suka usil dan banyak bertanya. Agar kami tidak dituding lagi sebagai petugas illegal yang tidak jelas.
Frengki juga meminta adanya batas-batas wilayah desa dan batas-batas permukiman warga yang pasti dan jelas. Agar tidak terjadi lagi perlintasan warga dari satu desa ke desa lain dengan seenaknya. Bila ini tidak diatur secara serius maka kasus-kasus pembabatan hutan, perburuan satwa, hingga pencurian peralatan warga yang ada di pondok kebunnya masih akan terjadi.
Frengki tak lupa mengapresiasi beberapa aparat desa di Desa Lalengan yang kini mendukung dan telah memahami tugas-tugas yang diemban Frengki, seperti Ketua BPD Desa Lalengan, Maskar Pijai.
“ Ketua BPD Desa Lalengan termasuk orang yang mendukung dan memahami tugas-tugas saya ini. Beliau sangat bersemangat dan mendukung saya, “katanya.
Hal ini terkait dengan upaya advokasinya menggolkan Peraturan Desa (Perdes) yang melarang warga Desa Lalengan dan sekitarnya untuk memburu dan membunuh satwa. Frengki mengisahkan perjuangannya hingga aturan ini disetujui secara resmi, dan disahkan oleh pemerintah desa. Butuh waktu enam bulan perjuangan, hingga Peraturan Desa tentang Pelarangan Berburu satwa ini disahkan.
Bersama kawan-kawan seperjuangannya, antara lain Un Madus, dan Jandri, berkali-kali mendatangi kantor desa uutnuk mengawal Perdes agar secepatnya disetujui dan disahkan
“ Perdes itu enam bulan baru mereka sahkan. Itu waktu turunnya Pak Didi (Mochamad Indrawan), yang bersama beberapa mahasiswanya membantu sosialisasi kami, “ ungkapnya lagi.
“ Nanti pada 18 Januari 2023, turun ke Desa Lalengan untuk mendesak Pemdes dan Ketua BPD. Sorenya Ketua BPD Maskar Pijai sudah jalan. Pada pukul 23.00 Wita, ketua BPD datang ke rumah saya dan membawa Perdes tersebut yang sudah disahkan oleh Pemerintah Desa Lalengan, “ pungkasnya.
Menemu-kenali tokoh pejuang lingkungan yang berasal dari masyarakat adat merupakan kerja sama penelitian adat budaya dan alam Bangkep kerjasama antara pusat riset perubahan iklim Universitas Indonesia (RCCC UI) dengan Copernicus Institute Utrecht University.
Bangkep merupakan lokasi satwa endemik yang tidak ada duanya di tempat lain manapun di dunia, sebagai contoh Gagak Peling, dan dua spesies Kuskus. Perjuangan masyarakat adat bersama peneliti telah membuahkan perdes konservasi pertama di Bangkep yaitu di Desa Lalengan.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) tidak tinggal diam bahkan mendukung upaya konservasi Bangkep. Pada 21 Februari kemarin Bupati Bangkep Ihsan Basir menerbitkan Instruksi Bupati No 1 tahun 2023 Larangan Perburuan Menembak dan Membunuh satwa Endemis Yang Dilindungi Di Kabupaten Banggai Kepulauan.
Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Banggai Kepulauan Rusli Moidady mengungkapkan apresiasi dan sukacitanya.
“Instruksi anti perburuan pleh Bupati secara langsung dilakukan berkat kerja sama yang baik dengan masyarakat adat Sea-sea serta peneliti konservasi UI. Instruksi seperti ini belum banyak dikeluarkan di kabupaten/kota Indonesia. Disamping itu, pada tingkat nasional pada tahun 2022 instruksi anti perburuan telah diterbitkan, oleh Kementrian Lingkungan HIdup dan Kehutanan, ” pungkasnya.(mgl)