PALU-Kepala Bidang (Kabid) Penyelenggara Haji dan Umrah Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Drs. H. Muchlis Aseng, menjelaskan soal konfirmasi Radar Sulteng yaitu adanya pernyataan dari pihak keluarga almarhumah Rosmawati Hairudin Upa binti Hairudin dari Buol, katanya keluarganya ini meninggal karena tidak mendapatkan perawatan yang cukup dari petugas pendamping haji.
Mereka, kedua calon haji ini begitu sekarat hanya di tempatkan di tempat perawatan di bawah standar yaitu Medical Center atau semacam Puskesmas di Indonesia. Harusnya di Rumah Sakit terbaik sesuai kapasitas jamaah haji, sebagai tamu Allah.
Tim pendamping Haji selayaknya di evaluasi karena terlalu banyak pejabat yang menjadi petugas pendamping haji. Berapa umur almarhum Aluy Koloi bin Koloi dan almarhumah Rosmawati Hairudin Andi Upa binti Hairudin ? Adakah riwayat penyakit mereka saat berhaji ini?
Kemudian, perlu dievaluasi. Harusnya pendamping haji itu masih muda, bukan pejabat karena pejabat hanya suka dilayani bukan melayani, masih kuat, punya pengetahuan penolong dan punya wawasan yang luas untuk menangani jamaah khususnya jamaah rentan seperti jamaah yang lansia.
Apa langkah dari Kanwil Kemenag Sulteng, dari tim pendamping agar tidak terjadi lagi “korban” berikutnya.
Muchlis Aseng menjawab dan menjelaskan, kalau almarhum Aluy Koloi bin Koloi berangkat ke tanah suci bukan sebagai jamaah haji reguler tapi infonya melalui jamaah haji khusus. Almarhumah Rosmawati Hairudin Andi Upa yang jamaah reguler tergabung di kloter 11 BPN asal Kabupaten Buol Sulawesi Tengah.
Sesuai informasi dari ketua Kloter 11, almarhumah Rosmawati sudah ditangani sesuai prosedur penanganan jemaah sakit, yakni mulanya dirawat oleh TKH kloter, lalu dirujuk ke KKHI, lalu untuk mendapatkan perawatan lebih memadai pihak KKHI merujuknya ke Rumah Sakit Arab Saudi (RSAS) setelah seminggu dirawat di RSAS lalu pihak RSAS merujuknya ke RS Saudi German sebelum almarhumah meninggal.
Mengenai pertanyaan petugas lalai, dikatakan Muchlis tidak relevan dengan konteks, karena kematian almarhumah tidak terkait langsung dengan tim pendamping haji. Mungkin yang dimaksud Tim Pemandu Haji Haji Indonesia (TPHI) atau Tenaga Kesehatan Haji (TKHI) atau Petugas Haji Daerah (PHD). Seluruh petugas dimaksud direkrut berdasarkan seleksi sesuai persyaratan dan mekanisme yang ada.
“Usia almarhumah Rosnawati 49 tahun, Kelahiran 2 Mei 1974. Usia almarhum Aluy Koloi, saya tidak tau karena data almarhum tidak di kami, tapi di travel biro perjalanan haji khusus. Juga usia dan riwayat sakit Rosm,awati saya tidak tau, yang lebih tau petugas kesehatan haji kloter atau Dinas Kesehatan daerah asalnya, “ jelas Muchlis.
Begitu juga soal adanya keraguan terhadap pejabat yang dimaksud Tim Pemandu Haji Haji Indonesia (TPHI) atau Tenaga Kesehatan Haji (TKHI) atau Petugas Haji Daerah (PHD). Sekali perekrutan dan seleksi petugas haji sudah dilakukan sesuai persyaratan, mekanisme dan prosedur yang ada.
Tentang jangan sampai terjadi korban berikutnya. Menurut Muchlis tidak sesuai konteks, tidak jelas korban apa? Jamaah sakit dan meninggal sudah ditangani sesuai prosedur yang berlaku di Arab Saudi.
Melengkapi jawaban atas pertanyaan di atas, Muchlis menjelaskan bahwa petugas kloter baik TPHI maupun TKHI apalagi PHD ketika jamaah sudah ditangani pihak medis dari RSAS tidak lagi memiliki kewenangan terhadap penanganan jamaah tersebut. Sepenuhnya wewenang RS. Yang ada hanya bisa memantau menjenguk jamaah ybs. Ketika jamaah sudah ditangani pihak RSAS, petugas kloter baik ketua kloter maupun TKHI sangat ketat dibatasi untuk ketemu jamaah yang sakit itu. Jadi kalau petugas kloter dianggap lalai atau tidak mengurus dengan baik almarhumah itu tidak benar.
“ Saya berharap pihak keluarga sebaiknya mengikhlaskan wafatnya almarhum, dan tidak terpengaruh info yang tidak benar terkait penanganan perawatan almarhumah di Rumah Sakit karena bukan lagi menjadi kewenangan petugas kloter, “ ujar Muchlis.(mch)